Senin, 26 Oktober 2009

Tanyalah Hatimu

“ Tanyalah pada hati kecilmu. Hati Nuranimu “ (Ayatollah Khomeini kepada pendukungnya, menjelang revolusi Iran).
Tanpa disadari kita kembali kepada tahapan terendah pada tingkatan hidup menurut Abraham Maslow. Yaitu Faali. Kita semua memahami hierarki Maslow itu. Kita hanya mementingkan sandang, pangan dan papan atau dengan kata lain makan, belanja pakaian dan belaja lainnya. Kemajuan AGD selama ini telah menyeret kita dan memojokan kita kepada kepentingan pribadi saja, kepentingan materi saja. Dimulai dari tuntutan-tuntutan pembagian hasil sampai kepada “86” dinas dengan harga tertentu.
Disisi lain, wajah komunikasi kita tidak dialogis lagi. Tiap-tiap individu atau kelompok hanya berusaha mempertahankan eksistensi masing-masing. Padahal hilangnya kepekaan itu merupakan pertanda kebangkrutan hidup. Seolah kita kini hidup dengan prinsip-prinsip “survivalitas” (yang penting hidup) sehingga sangat mekanistis tanpa proses psikologis yang wajar. Keterharuan, penerimaan, merasakan kebutuhan orang lain menjadi sesuatu yang tidak perlu “yang penting saya dan kelompok saya dan orang lain, kepompok lain bukan urusan saya”. Dengan kata lain kita terjebak pada kondisi monopoli interpretasi. Seolah hanya orang-orang tertentu yang berhak menilai apakah suatu tindakan adalah subversif atau tidak, apakah suatu tindakan melanggar hukum atau tidak. Lebih dari itu ada sebagian kita malah sama sekali tidak mempunyai hak apa pun untuk menginterpretasikan hidupnya sendiri. Kita kadang harus mengakui sebuah keputusan itu benar padahal sesungguhnya tidak dan kita dipaksa setuju dan mendukung padahal tidak. Selanjutnya kita terjebak pada verbalisme – sloganisme yang penuh fatamorgana.
Tampaknya kita sedang mengalami keadaan yang oleh Emile Durkheim dinamakan Anomie. Anomi adalah suatu keadaan dimana nilai-nilai lama telah ditinggalkan tapi nilai-nilai baru belum tumbuh secara kuat. Akhirnya terjadilah pertentangan nilai.
Disini pertentangan nilai-nilai materialistis dan moral adalah salah satu contohnya. Dimana nilai moral kita yang dahulu menjadi kebanggaan kita?, tengoklah nilai raport indisipliner kita. Berapa banyak kita sudah tidak lagi mementingkan hal itu?. Tengoklah tingkah kita mulai dari berdinas sampai pada kelakuan dalam berdinas, mulai dari berpakaian sampai kerapihan?. Lalu bandingkan dengan tuntutan hak kita. Bukankah pendapatan kita sudah lebih baik daripada dahulu?. Tidak cukupkah hasil selama ini untuk modal kita kembali memperbaiki diri dan memegang nilai-nilai luhur dulu dan meningkatkannya dalam bentuk prestasi lain?.   
Untuk itu sejawat sekalian, jangan jadikan pembelaan-pembelaan kepada kesalahan yang belakangan terjadi sebagai alasan untuk kita berbuat kesalahan juga, jangan jadikan realitas AGD memberikan “penghargaan” kepada orang-orang yang jelas bersalah sebagai alasan kita untuk berbuat salah. Marilah kita bangun nilai-nilai baru jika itu memang dibutuhkan AGD lalu pertahankan dan tingkatkan nilai-nilai lama untuk kemajuan AGD. Interpretasikan hak, pikiran, pendapat dan sikap hidup kalian. Jangan hiraukan pendapat-pendapat yang membela nilai-nilai salah karena tidak ada seorangpun pemilik kebenaran yang absolute disini.
Dengan demikian hati kita akan membimbing kita menuju persatuan yang hakiki. Persatuan yang sejati yang tidak dibaui oleh ego-ego pribadi. Sehingga lahirlah nilai-nilai baru untuk kemajuan AGD dengan tidak meninggalkan nilai-nilai lama untuk prestasi AGD.
Selamat berjuang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar