Senin, 26 Oktober 2009

TERORISME (sumber : Mafaahiim Khotiroh li Dhorb al Islam wa Tarkiiz al Hadhorah al Ghorbiyyah , Hizbut Tahrir)




Terorisme, dalam bahasa Arab, identik dengan kata al-irhâb, mashdar yang merupakan musytaq (pecahan kata) dari fi’l (kata kerja) arhaba. Maknanya adalah “menciptakan ketakutan” (akhâfa) atau “membuat kengerian/kegentaran” (fazza’a). Makna bahasa ini terdapat dalam firman Allah Swt:(yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian…. (QS al-Anfâl [8]: 60).
Akan tetapi, makna bahasa ini telah mengalami transformasi makna sehingga menjadi terminologi (istilah) yang baru. Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris, dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna terorisme pada tahun 1979, telah menyepakati bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasaan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.
Setelah seminar itu, diselenggarakanlah berbagai konferensi dan seminar internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Berbagai hukum dan undang-undang dibuat untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme; serta untuk menentukan negara-negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini, menurut klaim mereka, adalah dasar untuk mengambil sejumlah tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya.
Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan terorisme, tampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak mendalam, dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya. Sebagai contoh, kita melihat Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak dianggap aksi terorisme. Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma beberapa tahun lalu sebagai aksi terorisme. Akan tetapi, ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme kemudian hanya dianggap sebagai aksi kriminal belaka.
Amerika secara khusus menyifati sebagian gerakan sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, misalnya gerakan revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara Pembebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain. Para anggota dari gerakan-gerakan ini, ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi, Amerika menyifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atau kepentingan agen-agen Amerika sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut pun kemudian dicantumkan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini, misalnya, adalah sebagian besar gerakan-gerakan Islam yang ada di Mesir, Pakistan, Palestina, Aljazair, dan lain-lain.
Sejak dekade 70-an, Amerika memang telah merekayasa opini umum internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme, seperti yang kita lihat, dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika telah mengeksploitasi aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan dengan Amerika, maupun yang dilakukan oleh berbagai gerakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA). Banyak dokumen yang menerangkan bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme sebenarnya didalangi oleh intel-intel CIA sendiri, seperti pembajakan pesawat TWA di Beirut pada awal 80-an lalu. Amerika telah mengeksploitasi peristiwa peledakan gedung Al-Khubar milik Amerika di Saudi, dengan memaksakan 40 rekomendasi yang berkaitan dengan upaya memerangi terorisme pada Konferensi Negara-Negara G-7 yang diselenggarakan di Prancis tahun 1996. Amerika juga memanfaatkan peristiwa peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York dan Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma—bahkan sebelum diketahui siapa pelakunya—dengan mengeluarkan Undang-Undang Perlawanan Terhadap Terorisme yang disetujui oleh Senat Amerika tahun 1997.
Berdasarkan rekomendasi dan undang-undang tersebut, Amerika dapat memata-matai-siapa pun dan di mana pun-orang yang dituduhnya sebagai teroris. Amerika berhak untuk menangkap atau menculiknya. Amerika pun berhak menjatuhkan sanksi yang dianggap cocok baginya seperti penahanan, penyitaan, deportasi, atau pencabutan kewarganegaraan; tanpa memberikan hak kepada pihak tertuduh untuk membela diri ataupun untuk hadir di hadapan pengadilan atau lembaga hakim juri.
Amerika lalu melakukan generalisasi sifat terorisme terhadap negara-negara yang merintangi kepentingan-kepentingannya seperti Korea, China, Irak, dan Libya; juga terhadap banyak gerakan Islam seperti Tanzhimul Jihad, Hammas, dan Jamaah Islamiyah di Mesir, serta FIS di Aljazair. Dalam hal ini, Amerika memanfaatkan sejumlah peristiwa pemboman yang terjadi di Palestina untuk melawan Yahudi dan sejumlah aksi yang terjadi di Aljazair, tidak lama setelah pembatalan hasil pemilu untuk anggota legislatif oleh kalangan militer.
Berdasarkan undang-undang, keputusan, dan rekomendasi yang ada, Amerika bisa memata-matai dan menghantam siapa saja yang dicapnya sebagai teroris; baik individu, organisasi, partai, ataupun negara. Untuk itu, Amerika menggunakan kekuatan militernya atau pengaruh politiknya untuk melakukan blokade ekonomi seperti yang dilakukannya terhadap Irak dan Libya. Hal ini telah diungkapkan oleh mantan Menlu Amerika George Schultz yang pernah menyatakan, “Para teroris itu, bagaimana pun mereka berusaha melarikan diri, tetap tidak akan dapat menyembunyikan diri.”
Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya setelah runtuhnya Komunisme, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang akan menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam itu serta melestarikannya agar tetap berada di bawah hegemoni Amerika. Alasannya, kaum Muslim memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah. Dalam hal ini, Amerika dan negara-negara kafir lainnya telah memahami benar bahwa Khilafah adalah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.
Oleh karena itu, hampir tidak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Cap ini pun bahkan tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab, Amerika telah menganggap bahwa aktivitas semua gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam adalah aksi “teroris” yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya, berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai, atau negara tersebut.
Dari sinilah, kaum Muslim—yang kini tengah berjuang mengembalikan Khilafah dan menjadi sasaran langsung dari langkah politik yang disebut dengan “melawan terorisme”—berkewajiban untuk membentuk opini umum Dunia Islam dan opini internasional. Caranya adalah dengan membongkar hakikat dari apa yang dinamakan Undang-Undang Terorisme dan hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni atas dunia melalui undang-undang itu. Kaum Muslim berkewajiban untuk membeberkan bahwa Amerikalah sebenarnya yang berada di balik aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi di dunia, meski pun tuduhannya dilemparkan kepada orang-orang Islam.
Di samping itu, kaum Muslim berkewajiban pula untuk menjadi representasi Islam dalam segala perbuatan dan tindakannya. Sebab, Islam mempunyai metode khusus untuk merealisasikan berbagai target dan tujuan; di antaranya adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mendirikan kembali negara Khilafah. Berpegang teguh dengan metode ini—yang bertumpu pada pertarungan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) serta menjauhkan diri dari penggunaan senjata (kekerasan)—hakikatnya adalah berpegang teguh dengan metode syariat yang dituntut oleh Islam; bukan karena takut atau melarikan diri dari cap terorisme.
Mereka juga wajib menjelaskan bahwa tugas Daulah Islamiyah setelah berhasil didirikan tetap terikat dengan syariat, baik tugas dalam negeri seperti mengatur beraneka ragam urusan rakyat dan menerapkan hudûd, maupun tugas luar negeri seperti mengemban risalah Islam melalui jihâd fî sabîlillâh kepada seluruh umat manusia dan memusnahkan penghalang-penghalang fisik yang merintangi penerapan Islam.
Lebih dari itu, kaum Muslim wajib pula menerangkan bahwa penerapan Islam oleh mereka sendiri ataupun untuk umat agama lain tidaklah didasarkan pada hawa nafsu mereka atau untuk mewujudkan kepentingan pribadi mereka, tetapi semata-mata karena menjalankan perintah Allah Swt. Sebab, Allahlah Yang telah menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan ini. Allah pula Yang telah menuntut manusia untuk menata hidupnya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang diturunkan-Nya kepada Muhammad Rasulullah saw.
Cap yang diberikan oleh Amerika dan negara-negara lain bahwa Islam adalah terorisme dan bahwa kaum Muslim adalah para teroris sesungguhnya adalah predikat yang tendensius. Predikat itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan juga bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dari ajaran Islam. Allah Swt. berfirman:
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Kami telah menurunkan kepadamu al-Quran sebagai penjelas atas segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta sebagai rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim. (QS an-Nahl [16]: 89).
Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-hukum Islam. Dalam hal ini, tidak ada bedanya antara hukum yang berkaitan dengan shalat dan jihad, antara doa dan menggentarkan musuh, antara zakat dan pemotongan tangan pencuri, atau antara menolong orang yang dianiaya dan menghukum mati orang yang melanggar kehormatan kaum Muslim. Semuanya adalah hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan oleh individu Muslim atau oleh institusi negara; sesuai dengan faktanya dan pada waktunya secara tepat. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar