Senin, 26 Oktober 2009

Mendengar

Tidak semua orang bisa mendengar (bukan karena tuli), tapi karena sebagian besar orang memang lebih suka berbicara daripada mendengarkan orang lain. Sebagian besar orang memang memiliki dorongan yang lebih besar untuk mengungkapkan perasan, pikiran dan kehendaknya daripada untuk mendengarkan perasaan, pikiran dan kehendak orang lain. Sehingga orang lebih senang menunjukan eksistensinya, keakuannya daripada mengakui eksistensi dan keakuan orang lain. Pendek kata, orang tidak suka mendengar dan lebih suka berbicara.

Dalam bahasa inggris, ada dua kata yaitu Listen dan Hear keduanya bermakna mendengar tetapi keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Listen adalah aktivitas mendengar dengan keterlibatan emosional tertentu, ia mengerti dan memahami bukan sekedar mendengar lalu kemudian masalah selesai. Sementara hear hanyalah kegiatan mendengar secara indrawi tanpa keterlibatan emosional.

Konon kebanyakan orang yang mengaku pemimpin yang punya niat mendengar dengan baik lebih sedikit ketimbang yang suka mendengar. Tetapi sebaliknya saaaangat senang berbicara.

Bukankah Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut adalah isyarat agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara?. Dengan kata lain kalau kita lebih banyak berbicara dan kurang mendengar sama saja kita mnyalahi kodrat Ilahi.

Dengan mendengar (Listen), orang bisa memahami kemauan orang lain, pemimpin bisa memahami aspirasi dan kehendak yang dipimpinnya. Sehingga dengan memahami, pemimpin bisa mengambil langkah-langkah yang lebih tepat.

Orang Belanda sering mengungkapkan denga ejek-ejekannya dengan mengatakan oost-indisch doof “tuli gaya Hindia-Timur” (Y.B Mangunwijaya dalam Ragawidya). Maksudnya adalah orang Indonesia sering pura-pura tuli padahal secara sadar ia mendengar kalau dipanggil, tetapi karena tak senang ditambahi pekerjaan atau terlebih harus mengkaji ualng dan memikirkan apa yang sudah dia lakukan ia lebih memilih berpura-pura tidak mendengar.

Maka seorang pemimpin yang lebih senang mendengar (listen) baik itu pendapat, saran maupun kritik itu menunjukan kesiapan mentalnya untuk menjadi pemimpin. Dan sebaliknya belum waktunya menjadi pemimpin ketika kegemarannya hanya berbicara “orasi” dengan mengumbar opini-opini yang belum bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.

Sungguh ini sesuatu hal yang harus kita renungi lagi. Benarkah apa yang sudah kita lakukan sesuai dengan aspirasi atau belum.

Karena mendengar yang sesungguhnya bukanlah sekedar menggunakan telinga melainkan dengan hati. Dan hanya orang bijaklah yang bisa mendengar dengan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar