Selasa, 27 Oktober 2009

Perdebatan Pengamat Terorisme

Operasi penyergapan Densus 88 Antiteror di Jebres, Solo tak hanya menimbulkan histeria publik, tapi juga kontroversi di kalangan pengamat. Sudah lama masyarakat menunggu hari tertangkapnya buron kelas kakap Polri, Noordin M. Top, setelah rekannya Dr. Azahari bin Husein tertembak di Batu, Malang (2005). Pada jam-jam pertama pasca penyergapan Solo ternyata masih ada pengamat yang menyangkal kemungkinan tertangkapnya Noordin.
Dialah Dynno Chressbon yang mengaku punya sumber penting di kalangan petinggi Polisi dan kelompok radikal. Menurut sumber Chressbon, Noordin sedang iktikaf selama 10 hari menjelang lebaran di Jawa Barat, sehingga mustahil tertangkap di Jawa Tengah (Detikcom, 17/9/2009). Selain itu, Chressbon punya teori tersendiri – mirip dengan pandangan Al-Chaidar, mantan juru bicara Darul Islam– bahwa Urwah dan Noordin selama ini tidak pernah bersembunyi di tempat yang sama secara bersamaan. Apalagi, di kota Solo yang tergolong hotspot (wilayah utama) dalam pengawasan aparat, itu sama saja dengan menyerahkan diri.
Jika teori Chressbon benar, maka mungkin saja Noordin tertangkap di Jawa Barat, lalu dibawa ke Jawa Tengah untuk dieksekusi. Dalam konteks ini, Polri harus menjelaskan bagaimana faktanya hingga Noordin bisa terperangkap di Solo. Sebaliknya, jika teori Chressbon terbukti salah, maka profil Noordin tidak serelijius dan se-radikal yang dicitrakan. Noordin ternyata tidak sedang iktikaf di mushola atau masjid, tetapi sedang merancang serangan baru pasca Idul Fitri. Apakah sosok seperti itu masih dipandang membawa misi Islam melawan kejahatan negara Barat?
Lebih janggal lagi, walaupun sumber polisi menyebut ciri-ciri salah satu jenazah yang tertembak di Solo sangat mirip dengan Noordin, Chressbon tetap yakin bukan Noordin yang tewas. Alasannya? Belum ada satupun polisi di Indonesia yang mengetahui ciri-ciri Noordin saat ini, jadi tak bisa main klaim begitu saja, ujar Chressbon. Barulah setelah Kapolri mengungkapkan betapa terdapat 14 titik kesamaan dalam sidik jari dengan identitas Noordin yang dimiliki Polri, maka Chressbon tak terdengar lagi komentarnya.
Dulu, pasca penyergapan di Temanggung dan Jatiasih, Chressbon juga pernah meramalkan bahwa Presiden Barack Obama yang akan berkunjung ke Indonesia pada bulan November menjadi target serangan paling prestisius. Ramalan itu diutarakannya di tengah perdebatan tentang perubahan strategi kelompok teror setelah polisi menyatakan bahwa rumah kediaman Presiden SBY di Cikeas menjadi salah satu target operasi pemboman. Mana yang benar, orientasi penyerangan kelompok teroris itu demi melawan kepentingan domestik atau asing? Para pengamat tak punya kata sepakat.
Tentu saja, prediksi Chressbon dibantah keras oleh Kapolri, karena jika diterima begitu saja akan mengganggu kredibilitas pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dalam menciptakan stabilitas nasional dan keamanan regional. Padahal, SBY dikenal sangat dekat dengan pemerintahan AS. Sebelum pemilihan presiden tahun 2004, SBY berkunjung ke negeri Paman Sam untuk mempresentasikan gagasannya tentang Indonesia yang aman, demokratis dan terbuka, serta bersahabat dengan negara-negara di dunia. Kunjungan serupa juga akan dilakukan pada akhir September 2009, sebelum pelantikan SBY untuk periode kedua.
Kedatangan Obama akan membuktikan keramah-tamahan bangsa Indonesia. Karena itu, tak boleh ada seorang teroris pun yang mengusiknya. Kalau bisa, tak seekor nyamuk pun yang mengganggu. Apalagi, sekadar igauan seorang pengamat terorisme yang menjabat Direktur Pusat Studi Intelijen dan Keamanan Nasional (SIKNAL). Chressbon tak membantah sanggahan Kapolri, walaupun ia mengaku mendapat informasi kunci dari aktivis kelompok radikal Islam. Mengapa Polri tidak memeriksa Chressbon secara intensif dan menelusuri sumber informasinya yang kritikal itu? Siapa tahu memang ada isyarat ancaman terhadap Obama; atau jika tak ada, sekurang-kurangnya bisa dipastikan tak ada celah kealpaan dalam pengamanan VVIP sedikitpun.
Hubungan antara aparat keamanan dan para pengamat dalam isu terorisme di Indonesia memang unik. Keduanya seperti berbagi peran untuk meyakinkan publik bahwa tindakan keras melawan teroris memang harus dilakukan. Pengakuan mengejutkan disampaikan Hermawan Sulistyo, peneliti LIPI yang mengkaji sejarah kekerasan di Indonesia. “Noordin itu hanya dipakai sebagai ikon oleh pemerintah bahwa dia itu gembong. Coba saja lihat saat nama Noordin muncul pada Bom Bali I, peran dia dalam aksi itu sangat kecil, dia bukan yang utama. Artinya dia dipakai sebagai image building,” jelas Hermawan (Detikcom, 18/9/2009).
Astaga, kalau benar begitu maka persepsi publik terhadap keahlian dan kekejaman Noordin harus direvisi kembali. Termasuk juga, klaim polisi bahwa Noordin merupakan seorang Qoid (pemimpin) dari Tanzhim (organisasi) Al-Qaidah di Asia Tenggara. Pada mulanya, Noordin memang hanya murid pengajian yang dipimpin Mukhlas di madrasah Lukmanul Hakim di Johor Baru. Setelah Bom Bali I, Mukhlas dkk tertangkap, tiba-tiba Noordin dan Azahari menjadi bintang perakit bom. Keahlian keduanya dalam merakit bom tak pernah dibuktikan, karena polisi lebih suka mengeksekusi mati ketimbang memeriksanya di pengadilan.
Hermawan yang pernah terlibat dalam penyelidikan Bom Bali I menjelaskan fakta lain yang mengejutkan, ternyata saat ini berdasarkan catatannya saja ada 400 orang yang diketahui memiliki keahlian merakit bom. Catatan polisi atau pengamat lain mungkin lebih banyak lagi, Pernyataan ini sudah pasti tidak sembarangan, karena Hermawan menjadi konsultan Polri saat menulis buku putih Bom Bali I. Bila informasi ini valid, maka ‘Azahari-azahari’ atau ‘Noordin-noordin’ baru akan segera bermunculan, entah karena mereka mampu meningkatkan kapasitasnya atau sengaja dipromosikan media massa.
Keyakinan macam itu dimiliki oleh pengamat asing, Ken Conboy, yang menengarai kondisi Indonesia belum terjamin aman pasca tewasnya Noordin. Conboy percaya, sebelum meninggal, gembong teroris itu pasti telah menyiapkan aksi ‘balas dendam’. “Dia memiliki banyak waktu untuk memikirkan aksi balas dendam. Tapi saya pikir, polisi akan menindaklanjuti dugaan ini. Mereka harus tetap waspada,” kata Conboy yang pernah menulis buku tentang Kopassus dan intelijen di Indonesia (The Strait Times, 18/9/2009). Menurut Conboy, meski pemimpinnya telah tewas, bukan berarti jaringan teroris terputus. Mereka memiliki kemampuan yang baik untuk membentuk kembali kelompok baru setelah kematian Noordin.
Sinyalemen aksi balas dendam ditepis Nasir Abbas, mantan petinggi JI yang kini telah beralih profesi menjadi penulis buku dan komentator. Aneh juga, Nasir tidak diekstradisi ke Malaysia untuk diadili, malah dibiarkan bebas berkeliaran di Indonesia membentuk citra diri baru sebagai pengamat terorisme yang populer. Nasir beropini, balas dendam tidak dikenal dalam kelompok JI. Penyerangan tetap ditujukan kepada aset milik Amerika Serikat, bukan sasaran pribadi. Padahal, pengamat lain pernah berteori: aksi bom Marriott-Ritz Carlton merupakan serangan balasan atas eksekusi pelaku Bom Bali I. Demikian juga dulu, saat terjadi bom di depan Kedubes Australia (2004), ada yang menyimpulkan sebagai balasan atas penahanan Abu Bakar Ba’asyir yang disebut pemimpin spiritual JI.
Pandangan manakah yang dipakai aparat untuk memastikan motif serangan teroris selama ini? Semuanya tergantung kesaksian para tersangka yang masih hidup, barang bukti yang tersedia dan kedekatan analisis pengamat dengan narasi besar yang sedang dibangun Polri. Karena itu, penemuan laptop, hard disk, dan dokumen di lokasi penyergapan Solo sangat penting untuk menyempurnakan jalan cerita gembong teroris di Asia Tenggara. Jasad Noordin belum bisa dibawa pulang ke Malaysia sebelum narasi hitam itu tuntas.
Bobot kisah Noordin harus dikemas lebih seru karena dia telanjur ditahbiskan sebagai pentolan JI setelah tertangkapnya Hambali. Penasehat senior International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, yang paling getol menguak jejak Noordin dan sejarah JI. Menurut Jones, JI mengalami perpecahan internal pada 2003. Sejak itu, Noordin memimpin kelompok sempalan yang tidak tunduk kepada JI pusat dan merasa menjadi wakil Al-Qaidah di Indonesia dan Asia Tenggara. “Penting untuk dibedakan antara kelompok Noordin dan JI. Dia memang anggota JI, tapi selama lima tahun belakangan ini sudah menjadi ketua kelompok sempalan, dimana bergabung beberapa anggota JI, tapi mereka tidak tunduk kepada JI sebagai organisasi,” simpul Jones.
Tewasnya Azahari dan Noordin ternyata bukan akhir sebuah cerita dan tuntasnya pekerjaan rumah aparat keamanan. Situasi aman juga masih jauh dalam impian rakyat. Ada pihak yang menginginkan agar tragedi itu terus berlangsung, sehingga terorisme bak proyek keamanan yang berimplikasi pada pembesaran anggaran dan mobilisasi personal. Bahkan, saat ini telah muncul proposal untuk membentuk Badan Anti Terorisme Nasional yang akan menggantikan Desk Anti Terorisme di kantor Menko Polkam. Usulan untuk merevisi UU Anti Terorisme serta membahas RUU Intelijen semakin kencang, meskipun RUU Rahasia Negara sudah ditarik kembali oleh pemerintah.
Peran media sangat penting dalam menggiring opini publik. Setelah Noordin tewas ditembak Densus 88, kini tampil tokoh lain yang belum begitu terkenal, antara lain Para Wijayanto. Tokoh ini sudah masuk daftar pencarian orang di Polri. Sosok Wijayanto digambarkan media sebagai orang yang disegani Noordin. Dia merupakan senior Noordin saat pelatihan di Moro, Filipina. Wijayanto diduga kuat orang yang membujuk Noordin agar mau masuk ke Indonesia dalam pelarian dari Malaysia.
Pengamat lain menyebut Syaifuddin Zuhri sebagai pelanjut Noordin karena dia mampu merekrut calon ‘pengantin’ (pelaku bom bunuh diri) dalam waktu singkat darikalangan remaja yang lugu. Selain itu, masih ada tokoh sekelas Dulmatin dan Umar Patek yang bersembunyi di Filipina. Peran mereka mungkin akan segera tampil ke muka setelah Noordin tiada.
Mana di antara sejumlah figur misterius itu yang akan mewarisi bintang Noordin? Tergantung hasil perdebatan pengamat yang akan dilansir media massa. Pendapat pengamat berfungsi sebagai opsi yang dapat dipilih aparat untuk memantapkan langkah yang diambil, bisa juga sebagai justifikasi atas tindakan aparat yang sulit dijelaskan kepada publik.
Kita berharap masyarakat tidak terpengaruh pandangan pengamat yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga terjebak pada stereotipe   yang menyudutkan umat Islam. Akal sehat harus tetap dijaga di tengah perang opini yang sangat gencar. [www.hidayatullah.com]
by.Sapto Waluyo
*) Penulis adalah alumni S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura dan partisipan Advanced Course on Counter-Terrorism (2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar